Jumat, 12 April 2013

refleksi (34) : Pendidikan Matematika untuk Semua


Pada pertemuan Minggu lalu, Bapak Marsigit kembali memperlihatkan sebuah video pembelajaran matematika pada kelas tinggi di salah satu sekolah dasar di Jepang. Dari sana kami bisa mengamati lagi bagaimana proses pembelajaran yang ada pada sekolah tersebut dan membandingkannya dengan pembelajaran yang ada atau yang diterapkan sekolah-sekolah dasar di negara Indonesia.
Dari video tersebut saya pribadi dapat menangkap beberapa hal pokok mengenai metode yang guru gunakan dalam pembelajarannya. sistemnya masih sama dengan video pembelajaran matematika pada kelas rendah yang diputar sebelumnya, yaitu pada awalnya guru memberikan penjelasan secara garis besar mengenai hal-hal yang akan dipelajari hari itu, lalu bersama-sama dengan murid menyamakan pendapat dan memastikan bahwa semua murid mempunyai gambaran umum agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam langkah-langkah selanjutnya.
Pada video yang kami lihat tersebut, tampak anak-anak dalam kelas itu sedang membahas mengenai bangun datar dan siswa diminta untuk menganalisisnya. Dalam dikusi dan analisis mereka, mereka dapat menemukan bagian-bagian dari bangun tersebut yang memiliki luas yang sama ketika mereka menarik suatu garis lurus pada bidang yang menghubungkan antara dua titik tertentu, dan antara anak yang satu dengan yang lain mampu menemukan bentuk bidang datar yang berbeda. Kira-kira seperti ini yang dapat saya tangkap ketika mengamati video pembelajaran itu.  Yang pasti, tetap ada diskusi kelompok kecil untuk membahas dan menganalisis lembar kerja yang guru berikan. Dengan adanya diskusi antar siswa dalam suatu kelompok kecil, siswa menjadi lebih mandiri dan bebas mengeksplor kemampuan mereka untuk dapat menemukan sesuatu yang baru dari yang mereka pelajari. Di samping itu, guru tetap mendampingi mereka dalam berdiskusi, guru siap menerima keluhan-keluhan, masalah-masalah, atau pun pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar belum dimengerti anak terkait dengan masalah yang mereka hadapi.
Semua siswa berperan aktif dalam kegiatan diskusi. Usai melakukan diskusi, lembar kerja yang telah dianalisis dipampangkan di papan tulis sehingga guru dan teman-teman dari kelompok lain dapat mengamati sekaligus dapat menambah beberapa ilmu baru dari penemuan-penemuan yang berbeda. Guru pun beraksi dengan menjelaskan satu persatu kasus yang ditemukan masing-masing kelompok. Di sinilah terjadi diskusi dalam lingkup yang lebih besar, yaitu antara  guru dengan semua siswa. Siswa pun mampu menjelaskan apa yang telah mereka dapatkan  atau pelajari dari menganalisis masalah mengenai bangun datar tersebut.
Namun, apabila dibandingkan dengan video pembelajaran di Jepang pada kelas rendah, pembelajaran yang ada pada kelas tinggi ini siswa masih lebih cenderung pasif. Guru masih mengendalikan banyak hal, seperti pada hasil diskusi yang dipampangkan di depan, siswa kurang diberi kesempatan untuk menjelaskan secara lebih rinci. Gurulah yang mengambil alih penjelasan dan siswa mendengarkan di tempat duduk mereka masing-masing. Tidak terlalu terlihat peran guru kedua dalam pembelajaran itu, hanya ada satu guru yang benar-benar aktif mengendalikan kelas tersebut. Mungkin bisa saya katakan, kurang adanya team teaching antara kedua guru.
Jika direfleksikan dengan pembelajaran yang terjadi di Indonesia, saya kira Indonesia masih kalah. Kebanyakan masih lebih tradisional daripada ini. saya sangat setuju apabila dalam satu kelas terdapat team teaching, sehingga tidak hanya satu guru yang mengampu satu kelas apalagi harus menghadapi siswa dalam jumlah yang banyak. Pada akhirnya tidak semua kebutuhan siswa dapat terpenuhi, pasti akan terjadi ketimpangan dalam pelayanan terhadap siswa. Selain itu, dapat diketahui hal-hal yang masih perlu ditingkatkan baik pada aspek guru, siswa, maupun komponen pembelajaran yang lain.
Kebanyakan siswa di Indonesia malu untuk mengungkapkan pendapat, sampai saat ini pun saya belum mengerti mengapa terjadi seperti itu, apakah karena pengaruh dari sistem pendidikan yang selalu berorientasi pada guru, sehingga anak akan merasa takut salah, takut tidak sependapat dengan guru, atau karena hal lain ? Saya kira iya. Ide-ide, gagasan-gagasan cemerlang yang ada dalam diri siswa tidak mampu terungkapkan secara maksimal. Kasihan, padahal mereka berhak untuk mengemukakan pendapat. Sudah saatnya kebiasaan itu kita tinggalkan. Untuk selanjutnya, bisa saja dilakukan inovasi dalam pembelajaran dengan memanfaatkan aset-aset yang ada di negara kita. Pembelajaran inovatif tidak harus seperti di Jepang, Indonesia bisa menciptakan metode sendiri dengan basis budaya lokal. Yang terpenting dalam pembelajaran adalah mengutamakan pemenuhan kebutuhan siswa. Pembelajaran harus berorientasi pada siswa. Guru harus membiarkan siswa mengeksplorasi sendiri pengetahuan mereka, membiarkan mereka belajar dengan cara yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Kegiatan diskusi sangat penting, agar semua siswa dapat terlibat dalam pembelajaran, bukan hanya diam di tempat duduk maisng-masing dan pasrah saja dengan yang disampaikan guru. Lembar kerja siswa yang selama ini mengandalkan dari sebuah penerbit, jangan selamanya dijadikan acuan, guru harus bisa mengembangkannya dengan menyesuaikan karakter dan kebutuhan siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar