Rabu, 20 Maret 2013

refleksi (33) : MERAIH PUNCAK TERTINGGI GUNUNG MATEMATIKA


Setelah mengikuti mata kuliah Matematika SD 2 pada pertemuan minggu lalu, saya mendapatkan beberapa informasi baru yang semakin menambah wawasan saya terkait bagaimana seharusnya seorang guru bersikap, baik terhadap siswa maupun terhadap materi yang sedang dipelajari.
Bapak Marsigit mengatakan bahwa pendidikan, guru, mendidik, mengajar, murid, dan belajar merupakan dunia besar, sedang, kecil, dunia rendah, dan dunia tinggi, yang memiliki beberapa tingkatan mulai dari yang paling dasar yaitu tingkat konkret atau material, kemudian formal, normatif, dan yang paling tinggi adalah spiritual. Hal ini berarti setinggi-tinggi pekerjaan apabila bernilai ibadah. Dari sini tersirat sebuah makna bahwa setiap yang kita lakukan harus dilandasi dengan penuh rasa ikhlas.
Dunia ini terdapat dua unsur yaitu ada unsur maju, ada pula unsur garis lurus yang apabila disaring menggunakan saringan geometris akan menyisakan lingkaran dan garis lurus, yang biasa dikenal dengan sebutan hermenetika. Lingkaran apabila ditarik garis lurus keluar akan membentuk spiral, yang mana pada setiap titik spiral itu terdapat tiga komponen yang menjadi hakekat alam semesta dan hakekat manusia, yaitu rutin, mendetail (semakin spesifik), dan semakin membesar. Maka manusia perlu menjadikan ini sebagai metode hidup agar mencapai suatu kebahagiaan. Metode hermenetika dapat diartikan sebagai metode dengan cara menterjemahkan dan diterjemahkan. Hal ini menyiratkan bahwasannya dalam pembelajaran matematika, seorang guru harus mampu menterjemahkan siswa sehingga siswa mampu menterjemahkan matematika. Dalam kasus ini, tidak akan terjadi apabila tidak ada inisiatif dan kemandirian.
Di jaman yang semakin modern ini, sudah tidak ada lagi alasan untuk ketinggalan jaman, tidak ada lagi yang namanya daerah terpencil, kemajuan teknologi saat ini cukup memungkinkan bagi semua pihak untuk menumbuhkembangkan potensi, memanfaatkan segala yang ada sebagai salah satu sarana untuk menciptakan suatu metode pembelajaran matematika yang inovatif.
Seperti yang sudah ditunjukkan pada pertemuan sebelumnya, beberapa potret pembelajaran matematika di negara Australia dan Jepang cukup membuat kita para calon guru menelan ludah, tercengang akan betapa kontrasnya perbedaan sistem pendidikan di negara maju dengan negara Indonesia yang sejak dulu masih bernotabene sebagai negara berkembang. Kedua negara tersebut telah menerapkan realistic mathematics. Dapat dipetik pelajaran, Indonesia perlu melakukan perbaikan.
Realistic mathematics membagi proses pembelajaran menjadi empat tahap, yaitu matematika konkret, model konkret, model formal, dan matematika formal. Siswa belajar matematika diibaratkan mendaki gunung. Untuk mencapai puncaknya, yaitu tingkat matematika formal, ada beberapa proses yang harus ditempuh, harus melalui berbagai macam cara. Selama ini, pembelajaran matematika di Indonesia pada anak sekolah dasar masih selalu saja langsung teruju pada matematika formal, tanpa harus mengolahnya mulai tingkatan yang paling dasar. Padahal, matematika untuk usia sekolah dasar adalah matematika konkret, yang mana matematika tersebut dapat ditunjukkan pada benda-benda nyata yang ada di sekitar siswa, yang biasa digunakan siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan, terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan pada matematika formal, telah tersaji matematika yang terbebas dari ruang dan waktu. Pada matematika konkret guru dapat membimbing siswa untuk menemukan obyek-obyek di sekeliling mereka yang berkaitan dengan materi ajar matematika. Anak usia sekolah dasar akan lebih mampu memahami secara nyata.
Jika dirunut-runut lebih dalam, pada dasarnya matematika itu adalah kehidupan siswa itu sendiri. Oleh karena itu, guru tidak bisa memaksakan siswa untuk mencintai matematika. Guru tidak bisa mengatakan bahwa matematika itu indah sedangkan siswa belum mengalami prosesnya secara langsung untuk dapat menuju keindahan itu. Dalam mengajarkan matematika kepada anak, diperlukan kesiapan pada diri anak, kesiapan-kesiapan itu didapatkan siswa secara bertahap, ketika mereka sedikit demi sedikit melangkahkan kaki menuju puncak gunung realistic mathematics. Matematika, apabila diberikan kepada anak yang tidak siap maka yang terjadi adalah bencana bagi mereka, yang pada akhirnya matematika tersebut justru tidak dapat bermanfaat bagi siapapun.
Menurut Kant bahwa matematika sebagai suatu ilmu memiliki dua komponen, yaitu logika dan matematika. Logika biasa disebut dengan analitik a priori, dan pengalaman disebut sintetik a priori. Jika keduanya digabung menjadi satu maka akan membentuk gabungan yang disebut sintetik a priori. telah jelas bahwasanya pengalaman sangat berperan untuk menjadikan matematika ilmu yang bermanfaat. Maka supaya pembelajaran matematika inovatif, guru harus bisa menempatkan siswa turun ke lembah gunung, ke matematika yang konkret atau model konkret dan membiarkan siswa berinteraksi dengan lingkungannya. Guru berperan sebagai penunjuk jalan dalam kegiatan siswa mendaki gunung lebih tinggi lagi tahap demi tahap. Semua ini tidak lain bertujuan agar siswa lebih mantap dalam memahami matematika, mereka menjadi lebih matang setelah melalui berbagai proses. Di awal telah dikatakan bahwa memberikan matematika pada anak yang tidak siap akan menjadikan matematika itu sendiri bencana, juga matematika akan menjadi ilmu apabila dilandasi dengan pengalaman dan logika, serta, guru tidak bisa memaksakan siswa mencintai matematika. Proses pendakian gunung realistic mathematics yang dilakukan sesuai dengan tingkatan usia dan kematangan berpikir anak, akan membantu mereka  menterjemahkan matematika. Selan itu, dengan landasan pengalaman konkret dan logika, matematika yang didapatkan siswa juga akan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungan, kembali pada hakikat matematika sebagai kehidupan siswa bahkan siswa itu sendiri. Sejalan dengan pendakian itu pula, siswa akan menemukan bagaimana menyenagkannya matematika, bagaimana indahnya matematika tanpa paksaan dari guru. Guru harus banyak berlatih mengembalikan hakikat belajar matematika pada anak usia sekolah dasar. Guru harus mampu dan dengan penuh ketulus ikhlasan membimbing siswa dalam belajar matematika mulai tingkatan yang paling dasar yaitu melalui matematika konkret hingga menuju puncaknya di matematika formal tanpa unsur paksaan. Membiarkan anak menemukan cinta pada matematika dari hasil perjalanannya. Sukses untuk pendidikan matematika di Indonesia. Indonesia BISA !!

pertemuan minggu ke 5
dosen : Bp. Marsigit
oleh : Heni Kusuma

refleksi (32) : News Update: Koalisi Pendidikan Menolak Kurikulum 2013 Tolak Perubahan Kurikulum Pendidikan, karya Bp. Marsigit


Dari beberapa berita yang saya baca, saya dengar di media masa, tujuan diberlakukannya kurikulum 2013 salah satunya adalah untuk mengembalikan karakter bangsa Indonesia yang semakin terkikis melalui sitem pembelajaran tematik (khususnya bagi anak sekolah dasar). Namun, tidak salah juga pendapat masyarakat yang kontra dengan hendak diubahnyakurikulum KTSP 2006 menjadi kurikulum 2013. Jikalau alasannya karena kurikulum KTSP 2006 tidak efektif dalam peningkatan kualitas pendidikan, bagi saya itu aneh. Hitung saja baru berapa tahun kurikulum 2006 berjalan, sedangkan setiap perubahan atau setiap sistem untuk dapat menjadi berhasil, harus melaui berbagai proses yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Saya pikir pemerintah terlalu terburu-buru. Siapa tahu jika kurikulum 2006 dipertahankan beberapa tahun ke depan, kualitas pendidikan di Indonesia meningkat.Menurut saya, kualitas pendidikan di Indonesia bukan karena kurikulum, namun ada faktor SDM, terutama guru. Sebagus apapun diadakan perubahan sistem pada kurikulum, apabila tidak ada perlakuan apapun terhadap guru, maksud saya pelatihan-pelatihan, lesson study, atau pelatihan yang lain yang benar-benar bisa mempersiapkan guru menjadi pendidik profesional, yang inovatif, hasilnya akan sama saja. Yang terpenting di sini adalah bagaimana kiat guru dalam melakukan pendekatan dalam pembelajaran, dan seperti yang telah kita ketahui selama ini, guru-guru di Indonesia masih cenderung menerapkan metode pembelajaran tradisional, yang jika diteliti lebih dalam cara itu malah kurang mampu mengantarkan pendidikan pada tujuan yang diharapkan. Silakan diadakan perubahan kurikulum, namun perlu diingat juga bahwa penggerak pendidikan ada pada kualitas sumber daya pendidik. Sehingga, daripada sibuk mebicarakan seperti apa kurikulum yang paling sesuai diterapkan di Indonesia, pikirkan dulu bagaimana caranya agar pendidik di Indonesia memiliki kualitas tinggi baik secara intelektual serta secara sosial, mampu melakukan berbagai inovasi pembelajaran untuk masa depan siswa yang lebih baik. Untuk menghadapi perubahan kurikulum, tentunya harus ada persiapan yang benar-benar telah matang. Bukan asal menerapkan tanpa persetujuan sebagian besar pihak. Jika tidak siap, kurikulum tersebut justru akan menjadi bencana yang mengakibatkan semakin menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia.

http://powermathematics.blogspot.com/2013/03/news-update-koalisi-pendidikan-menolak.html?showComment=1363837703931#c1235333902500483316

Jumat, 15 Maret 2013

refleksi (31) : Pentingnya Kemerdekaan Berpendapat melalui Diskusi Siswa dalam Belajar Matematika

Setelah menyaksikan sebuah video yang menayangkan tentang bagaimana proses pembelajaran matematika pada siswa kelas 2 Sekolah Dasar  di salah satu Sekolah Dasar di Jepang, kini saya semakin mengerti teknis dari pelaksanaan pembelajaran yang inovatif.
Dari video tersebut, dapat saya temukan bahwa pembelajaran matematika untuk siswa kelas 2 di Sekolah Dasar di Jepang sangat jauh berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia. pada awal pembelajaran, guru melakukan apersepsi sebagai pengantar menuju materi. Dalam kelas tersebut, tidak hanya diampu oleh seorang guru, melainkan ada dua guru yang bekerja sama sebagai team teaching untuk melakukan suatu penelitian terhadap proses pembelajaran mereka sendiri, serta terhadap perkembangan anak dalam mencapai keberhasilan dalam pembelajaran tersebut. Mereka menyusun LKS sedemikian rupa yang dirancang khusus untuk siswa. Dalam kelas tersebut siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan masing-masing siswa diberi satu lembar kerja. Sebelum masuk ke dalam inti dari pembelajaran tersebut, guru memberikan penjelasan singkat mengenai permasalahan yang akan di analisis siswa pada LKS, serta guru juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat mereka dengan tujuan menyamakan konsep agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam tahap pembelajaran selanjutnya.
Pembelajaran di Jepang menekankan pada metode diskusi. Siswa diberi kesempatan berdiskusi dalam kelompoknya untuk menganalisis permasalahan, membangun kemampuan olah pikir terhadap materi yang diajarkan. Antusiasme belajar mereka pun sangat tinggi, semua anak bekerja secara aktif. Tidak terlihat wajah tegang, mereka bekerja dalam suasana yang santai. Guru benar-benar menjalankan perannya sebagai fasilitator siswa dalam belajar. Hal ini terbukti melalui aktivitas guru yang mendatangi satu per satu kelompok untuk memberikan bimbingan atau pengarahan jikalau ada siswa yang masih belum memahami suatu hal kaitannya dengan masalah yang mereka hadapi. Meski begitu, guru tidak merenggut kebebasan siswa, tetap siswalah yang mendominasi dalam peran menemukan pemecahan masalah. Guru melayani apa yang dibutuhkan siswa. Dalam proses diskusi, diterapkan atau dikembangkan metode yang berprinsip dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa. Dapat diartikan, bahwa dengan jalan diskusi ini, siswa menemukan sendiri ilmu pengetahuannya melalui pertukaran pendapat dengan teman sekelompok atau yang lainnya. Siswa dengan bebas mengeksplorasi segala potensi yang mereka miliki untuk menemukan sebuah pemecahan masalah (problem solving). Tidak banyak campur tangan guru, siswa berjalan sendiri dengan cara mereka masing-masing. Materi pelajaran memang sengaja dikembangkan sedemikian rupa sehingga siswa tidak hanya mampu menentukan apa jawaban dari masalah yang berkaitan dengan materi yang mereka bahas, akan tetapi siswa juga diharapkan mampu menganalisis secara mendalam tentang konsep materi itu.
Saya saksikan juga dalam video tersebut, tampak ada perundingan antara dua guru setelah siswa mengumpulkan hasil diskusi LKS mereka. Di sinilah bukti bahwa mereka melakukan penelitian terhadap jalannya pembelajaran serta sangat memperhatikan perkembangan siswa, dapat mengetahui seberapa jauh siswa mampu menguasai suatu materi. Masing-masing guru mempunyai dasar semacam indikator yang sama untuk mengetahuinya. Dengan cara ini, guru akan lebih dapat memahami dan mengetahui cara terbaik dalam pembelajaran.
Tahap selanjutnya siswa secara bergantian menampilkan apa yang telah ia dapatkan dari hasil diskusi tersebut di depan kelas, saya melihat banyak keistimewaan dari anak-anak itu. mereka mampu menemukan hal-hal yang baru dalam menganalisis lembar kerjanya. Tidak sedikit teman lain dengan antusias dan percaya diri mengemukakan pendapat-pendapat, saling melengkapi, memberi masukan serta koreksi, dan melakukan tanya jawab, sehingga semua siswa pun dapat memahami materi itu lebih mantap. Apabila siswa merasa sulit untuk menjawab, ada guru yang siap membantu. Guru juga menanyakan beberapa hal untuk mengetahui seberapa dalam pemahaman siswa mengenai masalah serta pemecahannya itu. ternyata terbukti dengan metode ini siswa benar-benar mampu menemukan sendiri pemecahan masalahnya, bukan guru yang langsung memberi tahu.
Pada akhir pembelajaran, siswa merefleksi akan jalannya pembelajaran, bagaimana cara guru mengajar, sehingga ini juga akan memberikan masukan terhadap guru untuk mengetahui metode apa yang baiknya digunakan pada pertemuan berikutnya. Saya melihat guru sebagai guru yang hakiki di sini. Guru di Jepang sudah mampu mengembangkan LKS sesuai dengan kebutuhan siswa.
Terakhir, kedua guru menyampaikan kesimpulan dari materi yang telah dipelajari bersama di kelas. sebelumnya, saya menilai bahwa pembelajaran matematika tidak berperan besar dalam pendidikan karakter, namun setelah menyaksikan video pembelajaran di Jepang, saya baru menyadari bahwasanya banyak karakter yang dapat dikembangkan pada diri siswa melalui pembelajaran matematika. Dengan metode tersebut, saya lihat banyak hal yang memengaruhi kepribadian siswa. Siswa menjadi lebih percaya diri tampil di depan kelas, mengemukakan pendapat mereka satu per satu tanpa ragu sedikitpun, mereka juga tidak segan menerima masukan-masukan dari teman yang lain, karena itu justru akan lebih menambah wawasan mereka mengenai materi yang dipelajari. Dalam diskusi, mereka terlatih untuk bisa bekerja sama dengan baik, bertoleransi, dan menghormati perbedaan pendapat.
Permasalahannya, sudah siapkah Indonesia menerapkan metode yang serupa ? Kita tahu selama ini apabila siswa ditanya mengenai pelajaran apa yang paling ditakuti, maka kebanyakan dari mereka akan menjawab ‘matematika’. Padahal matematika apabila disajikan dengan cara yang tepat justru akan membalikkan persepsi siswa 180 derajat menjadi sangat menyenagkan. Guru di Indonesia bisa memanfaatkan alam terbuka dan kekayaan yang tumbuh di atasnya sebagai media pembelajaran , tidak harus berada di dalam kelas. dimungkinkan dengan cara ini siswa akan lebih mendapatkan kesegaran dalam belajar matematika dan menyukai matematika. Guru matematika Indonesia perlu berbenah diri, jangan sampai kalah dengan negara Jepang. Masa depan Indonesia ditentukan dari kualitas generasi penerusnya. Indonesia yang maju jangan sampai hanya sebagai omong kosong belaka. 



sumber: video pembelajaran di Jepang

refleksi (30) : Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 3: Budaya Matematika Menghasilkan Mathematical Intuition, karya Bp. Marsigit

Sangat penting dalam pembelajaran matematika untuk melatih intuisi anak, khususnya intuisi matematika yang sangat penting untuk menghasilkan ide-ide/gagasan matematika. Intuisi matematika adalah subject to cultural forces (budaya bermatematika). Dengan demikian, untuk melatih intuisi tersebut diperlukan pembudayaan matematika pada anak. Menjadi tugas semua pihak untuk membudayakan matematika pada anak. Bagaimanapun, pengalaman merupakan guru terbaik, pembudayaan matematika, akan menambah banyak pengalaman bagi anak, sehingga anak akan lebih terlatih dalam bergelut di dunia matematika, mampu mengonstruksi sendiri pengetahuannya, serta mampu menemukan pemecahan-pemecahan masalah sendiri untuk dimanfaatkan, diaplikasikan atau diterapkan dalam lingkup yang lebih luas.