Setelah
mengikuti mata kuliah Matematika SD 2 pada pertemuan minggu lalu, saya
mendapatkan beberapa informasi baru yang semakin menambah wawasan saya terkait
bagaimana seharusnya seorang guru bersikap, baik terhadap siswa maupun terhadap
materi yang sedang dipelajari.
Bapak
Marsigit mengatakan bahwa pendidikan, guru, mendidik, mengajar, murid, dan
belajar merupakan dunia besar, sedang, kecil, dunia rendah, dan dunia tinggi,
yang memiliki beberapa tingkatan mulai dari yang paling dasar yaitu tingkat
konkret atau material, kemudian formal, normatif, dan yang paling tinggi adalah
spiritual. Hal ini berarti setinggi-tinggi pekerjaan apabila bernilai ibadah.
Dari sini tersirat sebuah makna bahwa setiap yang kita lakukan harus dilandasi
dengan penuh rasa ikhlas.
Dunia
ini terdapat dua unsur yaitu ada unsur maju, ada pula unsur garis lurus yang
apabila disaring menggunakan saringan geometris akan menyisakan lingkaran dan
garis lurus, yang biasa dikenal dengan sebutan hermenetika. Lingkaran apabila
ditarik garis lurus keluar akan membentuk spiral, yang mana pada setiap titik
spiral itu terdapat tiga komponen yang menjadi hakekat alam semesta dan hakekat
manusia, yaitu rutin, mendetail (semakin spesifik), dan semakin membesar. Maka
manusia perlu menjadikan ini sebagai metode hidup agar mencapai suatu
kebahagiaan. Metode hermenetika dapat diartikan sebagai metode dengan cara
menterjemahkan dan diterjemahkan. Hal ini menyiratkan bahwasannya dalam
pembelajaran matematika, seorang guru harus mampu menterjemahkan siswa sehingga
siswa mampu menterjemahkan matematika. Dalam kasus ini, tidak akan terjadi
apabila tidak ada inisiatif dan kemandirian.
Di
jaman yang semakin modern ini, sudah tidak ada lagi alasan untuk ketinggalan
jaman, tidak ada lagi yang namanya daerah terpencil, kemajuan teknologi saat
ini cukup memungkinkan bagi semua pihak untuk menumbuhkembangkan potensi,
memanfaatkan segala yang ada sebagai salah satu sarana untuk menciptakan suatu
metode pembelajaran matematika yang inovatif.
Seperti
yang sudah ditunjukkan pada pertemuan sebelumnya, beberapa potret pembelajaran
matematika di negara Australia dan Jepang cukup membuat kita para calon guru
menelan ludah, tercengang akan betapa kontrasnya perbedaan sistem pendidikan di
negara maju dengan negara Indonesia yang sejak dulu masih bernotabene sebagai
negara berkembang. Kedua negara tersebut telah menerapkan realistic mathematics. Dapat dipetik pelajaran, Indonesia perlu
melakukan perbaikan.
Realistic mathematics membagi proses pembelajaran menjadi empat tahap, yaitu matematika konkret,
model konkret, model formal, dan matematika formal. Siswa belajar matematika
diibaratkan mendaki gunung. Untuk mencapai puncaknya, yaitu tingkat matematika
formal, ada beberapa proses yang harus ditempuh, harus melalui berbagai macam
cara. Selama ini, pembelajaran matematika di Indonesia pada anak sekolah dasar
masih selalu saja langsung teruju pada matematika formal, tanpa harus
mengolahnya mulai tingkatan yang paling dasar. Padahal, matematika untuk usia sekolah
dasar adalah matematika konkret, yang mana matematika tersebut dapat ditunjukkan
pada benda-benda nyata yang ada di sekitar siswa, yang biasa digunakan siswa
dalam berinteraksi dengan lingkungan, terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan
pada matematika formal, telah tersaji matematika yang terbebas dari ruang dan
waktu. Pada matematika konkret guru dapat membimbing siswa untuk menemukan
obyek-obyek di sekeliling mereka yang berkaitan dengan
materi ajar matematika. Anak usia sekolah dasar akan lebih mampu memahami
secara nyata.
Jika
dirunut-runut lebih dalam, pada dasarnya matematika itu adalah kehidupan siswa
itu sendiri. Oleh karena itu, guru tidak bisa memaksakan siswa untuk mencintai
matematika. Guru tidak bisa mengatakan bahwa matematika itu indah sedangkan
siswa belum mengalami prosesnya secara langsung untuk dapat menuju keindahan
itu. Dalam mengajarkan matematika kepada anak, diperlukan kesiapan pada diri
anak, kesiapan-kesiapan itu didapatkan siswa secara bertahap, ketika mereka
sedikit demi sedikit melangkahkan kaki menuju puncak gunung realistic mathematics. Matematika,
apabila diberikan kepada anak yang tidak siap maka yang terjadi adalah bencana
bagi mereka, yang pada akhirnya matematika tersebut justru tidak dapat
bermanfaat bagi siapapun.
Menurut Kant bahwa matematika sebagai suatu ilmu
memiliki dua komponen, yaitu logika dan matematika. Logika
biasa disebut dengan analitik a priori,
dan pengalaman disebut sintetik a priori.
Jika keduanya digabung menjadi satu maka akan membentuk gabungan yang disebut sintetik a priori. telah jelas
bahwasanya pengalaman sangat berperan untuk menjadikan matematika ilmu yang
bermanfaat. Maka supaya pembelajaran matematika inovatif, guru harus bisa
menempatkan siswa turun ke lembah gunung, ke matematika yang konkret atau model
konkret dan membiarkan siswa berinteraksi dengan lingkungannya. Guru berperan
sebagai penunjuk jalan dalam kegiatan siswa mendaki gunung lebih tinggi lagi
tahap demi tahap. Semua ini tidak lain bertujuan agar siswa lebih mantap dalam
memahami matematika, mereka menjadi lebih matang setelah melalui berbagai
proses. Di awal telah dikatakan bahwa memberikan matematika pada anak yang
tidak siap akan menjadikan matematika itu sendiri bencana, juga matematika akan
menjadi ilmu apabila dilandasi dengan pengalaman dan logika, serta, guru tidak
bisa memaksakan siswa mencintai matematika. Proses pendakian gunung realistic mathematics yang dilakukan
sesuai dengan tingkatan usia dan kematangan berpikir anak, akan membantu
mereka menterjemahkan matematika. Selan
itu, dengan landasan pengalaman konkret dan logika, matematika yang didapatkan
siswa juga akan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungan, kembali pada hakikat
matematika sebagai kehidupan siswa bahkan siswa itu sendiri. Sejalan dengan
pendakian itu pula, siswa akan menemukan bagaimana menyenagkannya matematika,
bagaimana indahnya matematika tanpa paksaan dari guru. Guru harus banyak
berlatih mengembalikan hakikat belajar matematika pada anak usia sekolah dasar.
Guru harus mampu dan dengan penuh ketulus ikhlasan membimbing siswa dalam
belajar matematika mulai tingkatan yang paling dasar yaitu melalui matematika
konkret hingga menuju puncaknya di matematika formal tanpa unsur paksaan.
Membiarkan anak menemukan cinta pada matematika dari hasil perjalanannya.
Sukses untuk pendidikan matematika di Indonesia. Indonesia BISA !!
pertemuan minggu ke 5
dosen : Bp. Marsigit
oleh : Heni Kusuma